LAPORAN PRAKTIKUM
PRODUKSI TANAMAN OBAT DAN REMPAH
“ Minuman
Kesehatan (Cair Dan Instan Kering)”
Oleh :
Nama : Riana Yetmi
NPM : E1J009014
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2012
BAB I
ENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak jaman dahulu, manusia sangat mengandalkan lingkungan
sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya untuk makan, tempat berteduh,
pakaian, obat, pupuk, parfum, dan bahkan untuk kecantikan dapat diperoleh dari
lingkungan. Sehingga kekayaan alam di sekitar manusia sebenarnya sedemikian
rupa sangat bermanfaat dan belum sepenuhnya digali, dimanfaatkan, atau bahkan
dikembangkan.
Minuman kesehatan dapat berupa rebusan langsung atau bentuk
instan kering yang di seduh air. Minuman rebusan merupakan cara yang sangat
mudah dan sudah lazim dilakukan masyarakat, sedangkan instan kering proses
pembuatannya lebih rumit dan perlu pengalaman.
Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia
telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu terbukti
dari adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak
pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh
Wulang nDalem dan relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang
meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya (Sukandar E Y, 2006).
Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara
di dunia. Menurut WHO, negaranegara di Afrika, Asia dan Amerika Latin
menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima.
Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk
pengobatan primer (WHO, 2003).
1.2 Tujuan Praktikum
Mahasiswa
dapat memahami dan membuat minuman kesehatan cair maupun kering.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal
di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat
prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern
untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi
mengenai obat herbal di seluruh dunia (Sukandar E Y, 2006).
Tanaman
obat keluarga
(disingkat TOGA) adalah tanaman hasil budidaya rumahan yang berkhasiat sebagai obat.
Taman obat keluarga pada hakekatnya adalah sebidang tanah, baik di halaman
rumah, kebun ataupun ladang yang digunakan untuk membudidayakan tanaman yang
berkhasiat sebagai obat dalam rangka memenuhi keperluan keluarga akan obat-obatan. Kebun tanaman obat atau bahan obat dan selanjutnya
dapat disalurkan kepada masyarakat, khususnya obat yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan. Budidaya tanaman obat untuk keluarga (TOGA) dapat memacu usaha
kecil dan menengah di bidang obat-obatan herbal sekalipun dilakukan secara
individual. Setiap keluarga dapat membudidayakan tanaman obat secara mandiri
dan memanfaatkannya, sehingga akan terwujud prinsip kemandirian dalam
pengobatan keluarga.
WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal
dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit,
terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga
mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat
tradisional (WHO, 2003). Di Belgia, 70 orang harus menjalani dianalysis atau
transplantasi ginjal akibat mengkonsumsi pelangsing dari tanaman yang keliru
(WHO, 2003).
Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman
berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan.
Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan
ketrampilan yang secara turun temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Tanaman obat, seperti halnya obat buatan pabrik memang tak bisa
dikonsumsi sembarangan. Tetap ada dosis yang harus dipatuhi, seperti halnya
resep dokter. Buah mahkota dewa, misalnya, hanya boleh dikonsumsi dengan
perbandingan 1 buah dalam 3 gelas air. Sedangkan daun mindi baru berkhasiat
jika direbus sebanyak 7 lembar dalam takaran air tertentu (Suarni, 2005).
Efek samping tanaman obat dapat digambarkan dalam tanaman dringo
(Acorus calamus), yang biasa digunakan untuk mengobati stres. Tumbuhan
ini memiliki kandungan senyawa bioaktif asaron. Senyawa ini punya struktur
kimia mirip golongan amfetamin dan ekstasi. Dalam dosis rendah, dringo memang
dapat memberikan efek relaksasi pada otot dan menimbulkan efek sedatif
(penenang) terhadap sistem saraf pusat ((Manikandan S, dan Devi RS., 2005),
(Sukandar E Y, 2006)).
Namun, jika digunakan dalam dosis tinggi malah memberikan efek
sebaliknya, yakni meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif) (Fang Y, et al.,
2003). Asaron dringo, juga merupakan senyawa alami yang potensial sebagai
pemicu timbulnya kanker, apalagi jika tanaman ini digunakan dalam waktu lama
(Abel G, 1987). Di samping itu, dringo bisa menyebabkan penumpukan cairan di
perut, mengakibatkan perubahan aktivitas pada jantung dan hati, serta dapat
menimbulkan efek berbahaya pada usus ((Chamorro G, et al., 1999),(Garduno L, et
al., 1997), (Lopez ML, et al., 1993)).
Berdasarkan fakta ilmiah itu, Federal Drugs of Administration
(FDA) Amerika Serikat telah melarang penggunaan dringo secara internal, karena
lebih banyak mendatangkan kerugian dari pada manfaat (Suarni, 2005). Takaran
yang tepat dalam penggunaan obat tradisional meman belum banyak didukung oleh
data hasil penelitian. Peracikan secara tradisional menggunakan takaran
sejumput, segenggam atau pun seruas yang sulit ditentukan ketepatannya.
Penggunaan takaran yang lebih pasti dalam satuan gram dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya efek yang tidak diharapkan karena batas antara racun dan
obat dalam bahan tradisional amatlah tipis. Dosis yang tepat membuat tanaman
obat bisa menjadi obat, sedangkan jika berlebih bisa menjadi racun.
Satu tanaman obat dapat memiliki banyak zat aktif yang
berkhasiat di dalamnya. Masing-masing zat berkhasiat kemungkinan membutuhkan
perlakuan yang berbeda dalam penggunaannya. Sebagai contoh adalah daun Kecubung
jika dihisap seperti rokok bersifat bronkodilator dan digunakan sebagai obat
asma. Tetapi jika diseduh dan diminum dapat menyebabkan keracunan / mabuk
(Patterson S, dan O’Hagan D., 2002).
Tujuan pembuatan ekstrak tanaman obat adalah untuk memindahkan
zat-zat berkhasiat yang ada pada tanaman ke dalam larutan cair. Cara olah
dengan bentuk cair bila dikonsumsi lebih efektif dibandingkan dengan bentuk
lainnya. Karena zat yang terlarut lebih mudah diserap oleh organ tubuh,
mengikuti alur perjalanan air yang diminum.
BAB III
METODELOGI
PRAKTIKUM
1.
JAHE INSTAN
a. Bahan/Alat : 1 kg Jahe merah yang sudah tua, 2 kg gula putih, 1
liter Air, parutan/blender, baskom, kuali, sendok penggorengan, dan kompor.
b. Cara
membuat :
1) Jahe dikupas, dicuci, lalu diparut/dibelender untuk
diperas dan disaring untuk diambil sarinya dengan 1 liter air.
2) Air perasan jahe digongseng selama kurang lebih 3
jam, sampai air tersebut berubah menjadi bubuk jahe instan.
3) Bubuk jahe didinginkan lalu dibungkus dalam plastik
dan diberi label.
2.
Sup Rosela
a. Bahan/Alat : rosella (kelopak) sebanyak 1 ons, air 1 liter,
gula 2 ons (tanpa es), vanili secukupnya.
b. Cara kerja :
1) Semua bahan direbus dan busa yang timbul pada rebusan
dibuang dengan cara disaring untuk mencegah sakit magh.
2) Setelah air sudah berwarna seperti warna rosella dan
sudah mendidih air diangkat dan didingankan.
3) Siap untuk di minum.
3.
Agar Rosela
a. Bahan/Alat : rosella (kelopak) sebanyak 1 ons (sisa pembuatan
sirup rosella), air 1 liter, gula 2 ons (tanpa es), vanili secukupnya,
agar-agar 2 bungkus.
b. Cara kerja :
1) Kelopak rosella diblender sampai halus dan disaring
yang diambil adalah hasil saringan.
2) Rosella direbus dengan 2 buah agar, setelah mendidih
agar rosella diangkat dan didinginkan.
3) Agar rosella siap untuk dimakan.
BAB IV
HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1 Hasil Praktikum
a) Hasil akhir dari produk jahe instan adalah bubuk yang
berbentuk kristal.
b) Sirup rosella berwarna merah dengan rasa manis asam
c) Agar-agar rosella ini rasanya dengan sirup rosella.
4.2 Pembahasan
Pada
era sekarang ini jahe instan sudah di jadikan salah satu industry yang
menjanjikan. Tanaman jahe berkhasiat untuk sakit pegal-pegal, penyegar badan,
obat kuat, anti radang, flu/pilek, batuk dan masuk angin.
Jahe
yang digunakan lebih banyak dalam jahe instan ini adalah jahe merah. Jahe merah
memiliki rasa yan g lebih kuat dari pada jahe putih. Rasa yang dihasilkan jahe
instan ini pedas dan manis, pedas disini bukan seperti pedas cabeh tetapi lebih
ke panas jika dimakan.
Jahe
instan akan berwarna putih bersih jika pengadukan pada saat pengkristalan
sangat kuat/tidak berhenti. Warna putih dari jahe instan juga dipengaruhi oleh
berapa banyak jahe putih yang dicampurkan dalam pembuatnya. Dalam penggunaanya,
jahe instan ini diseduh dengan air hangat dan untuk menambahkan rasa lain, itu
tergantung pengguna, misalnya untuk lebih enak bisa menambahkan susu atau kopi.
Bunga
rosella yang paling bagus untuk pembuatan sirup rosella adalah berwarna merah
pekat. Bunga rosella ini berfungsi untuk penyakit seperti diuretic, koleretik,
peredaran darah, turunkan viscosits darah, hipertensi, tingkat kinerja usus,
anti infeksi-bakteri, memperlamnat pertumbuhan pathogen, kram otot, mencegah
pembentukan batu ginjal dan immunitas. Sirup bunga rosella rasanya asam manis.
Rasa asam ini berasal dari bunga
roselanya sendfiri dan rasa manis berasal dari gula yang ditambahkan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun
kesimpulan yang dapat di berikan adalah tanaman obat yang dijadikan minuman
langsung, kering ataupun sirup lebih enak untuk dikonsumsi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abel G, 1987, Chromosome-damaging
effect of beta-asaron on human lymphocytes, Planta Med., 53(3): 251-3.
Chamorro G, Salazar M, Tamariz J, Diaz
F, Labarrios F., 1999, Dominant lethal study of alphaasarone in male and female
mice after sub-chronic treatment., Phytother Res., 13(4): 308-11.
Fang Y, Li L, Wu Q, 2003, Effects of
beta-asaron on gene expression in mouse brain, Zhong Yao Cai,
26(9):650-2.
Garduno L, Salazar M, Salazar S,
Morelos ME, Labarrios F, Tamariz J, Chamorro GA, 1997, Hypolipidaemic activity
of alpha asarone in mice, J Ethnopharmacol, 55(2):161-3.
Lopez ML, Hernandez A, Chamorro G,
Mendoza-Figueroa T, 1993, alpha-Asarone toxicity in longterm cultures of adult
rat hepatocytes, Planta Med., 59(2):115-20.
Patterson S, O’Hagan D., 2002,
Biosynthetic studies on the tropane alkaloid hyoscyamine in Datura stramonium;
hyoscyamine is stable to in vivo oxidation and is not derived from littorine
via a vicinal interchange process., Phytochemistry, 61(3): 323-9.
Sukandar E Y, Tren dan Paradigma Dunia Farmasi,
Industri-Klinik- Teknologi Kesehatan, disampaikan dalam orasi ilmiah Dies
Natalis ITB, http://itb.ac.id/focus/ focus_file/orasi-ilmiah-dies-45.pdf,